Detecting Croocked and Fallacious Thinking Part 2 : Critical Reading

Hello Folks!

Ini adalah sambungan dari Detecting Crooked and Fallacious Thinking Part 1 (klik saja judul itu jika kalian ingin tahu). Materi Fallacious ini terlalu banyak jenisnya dan perlu berhati-hati untuk disampaikan (ngejelimet banget materinya boo~), apalagi terkadang kita selalu dikecohkan oleh beberapa jenis yang terlihat sama, padahal mereka memiliki inti yang berbeda. Mau begimana lagi, mereka satu persusuan sih hahaha... 

Oh ya, di part 2 ini akan ada beberapa materi yang membuat kalian harus mondar-mandir baca ke part 1. Sebab, di part ini akan banyak jenis fallacious yang serupa tapi tak sama dengan yang di part 1. Jadi harap untuk memelankan laju kalian dan bacalah dengan hati-hati.

Keep spirit and let's begin!


 

7. Either-or Assumption

   The either-or [assumption] fallacy is also committed by many people due to the tendency to 'think in extremes' (often been called 'black-white thingking.

 

Yaitu ketika penulis berpikiran terlalu ekstrim atau memiliki pikiran hanya seputar hitam dan putih. Untuk lebih mudah memahami jenis fallacious satu ini, adalah dengan melihat dari fenomena disekitar kita yang sedang panas-panasnya diangkat yaitu 'rasisme'. Rasisme merupakan keadaan ketika kita memandang orang lain atau menilai orang lain berdasarkan ras, kulit, dan agamanya. Rasisme memang hampir mendekati Either-or Assumption. Ketika seseorang berfikir kalau orang kulit hitam tidak akan bisa jadi dokter, itu sudah merupakan contoh umum dari Either-or Assumption. Tapi untuk pemahaman lebih jauh, rasisme belum sempurna dalam mewakili Either-or Assumption (Mungkin saja orang kulit hitam tidak bisa jadi dokter, tapi mereka tidak dilarang menjadi dokter). Nah, perkembangan dari rasisme lah yang dapat mewakili fallacious satu ini, yaitu Ethnocentrism 
 
Etnosentris merupakan pola pikir dimana ras merekalah yang paling benar, dan ras yang lain salah. Pola pikir ini persis mewakili Either-or Assumption hitam dan putih. Yang Hitam akan selalu disalahkan, dan yang Putih akan selalu dibenarkan, tidak ada warna yang lain- hanya hitam dan putih. Pemikiran ekstrim bahwa didunia ini hanya ada benar dan salah. 

 

Example: " it's common knowledge that my opponent is not quite normal in his behavior. How then, my friends, can we entrust an abnormal person  with heavey responsibillities?"

 

 

Dalam pernyataan diatas dapat kita lihat bahwa kandidat partai tersebut menghasut bahwa pihak lawannya orang yang gak normal hanya karena memiliki hobi yg sedikit berbeda dari biasanya. Dan menyimpulkan bahwa lawannya tidak patut untuk dipercaya karena dia abnormal. Padahal di dunia ini pun meski seseorang abnormal bahkan (maaf) cacat, masih bisa melakukan sesuatu dan bisa dipercaya untuk memikul tanggung jawab. Bahkan sejarah Indonesia pun sudah mencatat seorang presiden yang memikul tanggung jawab yang besar walau dirinya tak mampu melihat. Gak tau? searching gih! 
 
Well, kalau saya disuruh membuat contoh diluar dari topik ras, saya akan berkata bahwa meski seorang wanita tak sengaja membunuh seorang pria yang berusaha melecehkannya, wanita itu tetap dihukum mati karena dia membunuh seseorang. Extream bukan? 
 
 

8. Talking 'What is' to be 'What Ought' 


Perlu diperhatikan, untuk bisa membedakan jenis-jenis fallacy diatas, harus adanya pemahan kira-kira maksud yang ditujukan teks itu seperti apa. Misalnya apakah ada indikasi pro ideologi hitam putih Either-or Assumption, atau si penulis hanya menyimpulkan sesuatu hanya dari satu kasus seperti Over Generalization, atau menyimpulkan sesuatu harus sesuai dengan apa yang ada yaitu jenis fallacy yang akan kita bahas kali ini.  
 
In order to be heard persuasive, some people try to treat “What is” as “What to be”  
 
Fallacy jenis ini sering terjadi dalam promosi-promosi komersial. Untuk menarik para pelanggan, seller akan memberi argumentasi harus menjadi apa suatu hal itu, berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam hal tersebut. Contoh sederhananya seperti ini, 'kamu harus membeli barang ini, karena seluruh orang di kota juga membelinya!'. Padahal walaupun seluruh penduduk dunia membelinya pun, tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Bukan berarti kita membutuhkan barang tersebut, dan harus membelinya. Dalam hal ini, penulis berusaha menanamkan pola pikir bahwa apa = akan menjadi siapa. Jadi disini seseorang dihasut untuk menjadi orang lain bukan dirinya sendiri. Padahal kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Bukan berarti dia butuh kita juga butuh. Maka, antara apa sangatlah berbeda dengan menjadi siapa;
 
E.g: "you don't need education because women will be married in the end." 
 
Dalam contoh diatas, bisa kita lihat penulis menyimpulkan bahwa wanita tidak butuh pendidikan karena pada akhirnya wanita akan menikah. Maksudnya adalah penulis berfikiran bahwa apabila sudah menikah maka pendidikan tinggi tidak akan dibutuhkan lagi oleh wanita, karena seyogyanya mereka hanya akan mengurusi urusan rumah tangga. Padahal Wanita pasti menikah (apa) tapi bukan berarti kita tidak membutuhkan pendidikan (menjadi siapa) karena walaupun sudah menikah, pendidikan masih dibutuhkan untuk mengajar anak-anak atau lebih jauh lagi meniti karir karena wanita masih bisa bekerja sambil tetap mengurus rumah tangga, Maka ada kekeliruan/ fallacy dalam argumen penulis pada contoh diatas.

9. Jumping From a Non-Inclusive Proposition to an Inclusive Conclusion

Fallacy satu ini adalah fallacy yang dilakukan dengan menghadirkan premis-premis dalam sebuah pernyataan sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru/salah dalam rangka mendukung argumentasinya.

JNP (Jumping From a Non-Inclusive Proposition to an Inclusive Conclusion) ini terbentuk dengan cara menghadirkan beberapa premis atau landasan pemikiran kemudian dibentuk menjadi suatu kesimpulan yang keliru. Misalnya perhatikan teks dibawah:

All tall people are brave.
All brave people are highly educated.
therefore, all highly educated people are tall.

Pada premis satu, penulis berkata bahwa "Semua orang tinggi itu berani." Kemudian premis dua adalah "Semua orang berani itu berpendidikan baik." Ditutup dengan kesimpulan menjadi "Semua orang yang berpendidikan baik itu pasti tinggi." Kesimpulan ini salah, bahwa faktanya tidak semua orang yang berpendidikan itu pasti tinggi badannya atau setiap orang yang tinggi pasti berpendidikan. Dalam hal ini, penulis menghubung-hubungkan setiap premis dengan mengacaukan makna pada premis tersebut hingga membentuk kesimpulan yang keliru dan menipu. 

Disini penulis mengacaukan makna dari premis 2 "orang yang berani itu berpendidikan baik" dengan meyamakan maknanya menjadi "orang berpendidikan itu berani." Padahal dua hal tersebut berbeda. Bukan berarti semua orang yang berpendidikan itu pasti berani karena nyatanya masih ada yang walau berpendidikan tinggi mereka tidak percaya diri. Tapi orang-orang yang berani adalah orang yang berpendidikan karena mereka belajar dari pengalaman mereka, mereka terdidik dengan baik. Tapi maksud dari "pendidikan" bukan hanya mengenai titel atau gelar melalui akademis/sekolah. Disini penulis mencoba mengecoh pembaca dengan bermain-main dengan kata "highly educated".

JNP vs Circular Argument

Loh kok sama kaya circular yah? ada alasan satu, dua, trus kesimpulan? Yah memang secara kasat mata agak sukar membedakannya, tapi sehelai benang tipis yang membedakan adalah kalau CA itu membuat lingkaran alasan; Untuk mendukung premis 1 dibuat premis 2, untuk mendukung premis 2 dibuat premis 3, terus menerus sampai sebesar dan sebulat bumi tuh alasan. Dan di CA, penulis tidak mengotak atik makna setiap premis, dia sistem kerjanya hanya terus menerus membuat alasan. Sedangkan di JNP penulis mengacaukan makna dan hakikat dari permis lantas membuatnya menjadi kesimpulan yang keliru. 

Kalau saya disuruh buat JNP akan seperti ini,

Orang sukses butuh modal
Modal bisa datang dari keluarga
Maka setiap orang sukses pasti memiliki keluarga kaya.

Disini seperti pola pikir masyarakat yang suka muncul tuh di komen-komen netizen. "Yahh dia sukses lah, dari lahir aja udah kaya." Nah! disini saya berusaha mempengaruhi kalian dengan argumen tersebut. Disini saya mengacaukan premis 2 "Modal bisa datang/diminta dari keluarga." dan memberikan kalian makna yang salah menjadi "oh berarti keluarganya yang memberikan modal ke si orang sukses ini."

Dari fallacious yang saya buat diatas akan lolos begitu saja kalau kita tidak jeli dalam mengamati premis/alasan yang dikeluarkan. Dalam hal ini, padahal belum tentu "Modal bisa datang/diminta dari keluarga." sama dengan "Setiap keluarga pasti memberikan modal." Karena tidak setiap keluarga mau kok memberikan modal. Bisa jadi ortunya kaya tapi broken home dan gak peduli sama anaknya, atau karena alasan-alasan lainnya. Berasal dari keluarga kaya tidak menjamin kesuksesan seeorang. Gak semua yang sukses itu datang dari keluarga kaya, ada kok yang dari modal nol, atau miskin dengan modal dikit.



Lanjut ke part tiga yaa....


That's all folks!
Kritik dan saran terbuka lebar, kalau masih kebingungan bisa bertanya di kolom komentar.



Kok banyak yang baca tulisan ini? Hmm... 🤔

Lihat-lihat boleh, follow apalagi! 😆