Hati-Hati Di Jalan | Cerpen
Pernakah kamu merasa terganggu akan sesuatu? Terganggu oleh kebaikan. Walau judulnya kebaikan, tetap saja bukankah menjadi tidak baik kalau sudah mengusik kenyamanan kita?
"Mas bintang ngapain kesini?" Ucapku agak sedikit ketus.
"Yah jemput kamulah." Balas pria yang akhir-akhir ini selalu menggangguku. Tawarannya menjemputku bukanlah sekali duakali, mungkin pria ini hanya ingin membantu tapi tetap saja aku selalu merasa tidak nyaman jika dijemput seseorang yang bukan keluargaku. Bukankah barusan aku meminta adikku yang menjemputku? Kenapa malah pria pemaksa ini yang datang?
"Mas aku kan gak minta kamu jemput, aku kan sudah bilang aku risih diboncengin orang lain. Mending aku cari kendaraan umum lainnya." Ucapku marah.
"Zulfa, kamu itu perempuan, bahaya malam-malam pulang sendirian. Lagian sudah malam gini, sama saja kalau kamu pesen gojek. Itu gojek cowok asing juga." Balasnya sabar.
"Yah mangkanya aku minta si Farhan yang jemput, kalo kamu yah sama aja. Mas bintang sama berbahayanya kayak orang asing!"
Pria itu mengatupkan mulutnya mengejek, dengan percaya diri berkata "Kenapa? Bahaya buat hati kamu?" Aku yang tiba-tiba merasa lebih kesal memutuskan untuk mengambil helm yang sedari tadi berada ditangannya. Rasanya ingin cepat pulang dan sesegera mungkin mengakhiri percakapan ini. "Apaan sih gak nyambung!" Ucapku kesal dan segera menaiki kursi belakang motor beatnya. "Jangan marah gitu dong Zulfa manis, tenang aja. Ortu-mu kan sudah kenal Mas Bintang. Kamu aman." Senyum kemenangan merekah di wajahnya seraya ia pun melajukan motornya.
.
.
Pria itu bernama Bintang. Pria perantauan Jogjakarta yang menyewa rumah di sebelahku dan bekerja di secure parking salah satu mall dekat daerahku. Shift kerjanya yang acak, terkadang mempertemukan kami dan memberinya kesempatan untuk mengangguku. Karena aku seorang kasir supermarket, juga memiliki shift kerja yang sama kacaunya. Dia baru dua bulan tinggal di daerah sini, dan dia sudah menjadi tetangga yang buruk untukku. Walau, dia sering membantu Pak RT di waktu luang, tetap saja sikap jahil dan parasitnya sangat mengangguku. Kenapa parasit? Istilah kasar memang, tapi dia selalu minta makan padaku setelah satu kali pernah ku berikan masakan yang berlebih, waktu ibuku pulang kampung dan aku yang harus mengurus rumah. "Masakanmu enak Zulfa, cocok di lidah mas." Ucapnya suatu kali, manis benar memang mulut pria satu ini.
.
.
"Karena kamu sudah sering masakin mas, gimana kalau aku aja yang ajarin kamu kendarain motor?" Pertanyaannya membuatku melotot, tetanggaku yang lain bergumam setuju. Awalnya aku hanya hendak masuk rumah sehabis dari minimarket. Ketika ibu warung depan rumahku menyapaku dan bertanya, "Aturan kamu bisa naik motor nduk. Gak capek bolak balik minimarket." Dan kubalas bahwa aku ada rencana untuk belajar tapi tidak tahu kapan dan sama siapa. Eh tiba-tiba saja pria menyebalkan itu keluar rumah bersama teman satu kosnnya dan ikutan nimbrung.
"Aku bukannya masakin kamu yah, kamu yang minta-minta!" ucapku sedikit ngotot tapi tetap seolah bercanda karena posisi lagi makin nambah aja nih yang nimbrung ngobrolin permotoran. "Mangkanya mas mau bantu-bantu." balasnya. 'jawab aja terus', ucapku dalam hati. Sebenarnya bukan hanya kapan dan dengan siapa, tapi aku memang masih takut untuk mengendarai motor sendiri. Dulu, aku pernah kecelakaan sama ayahku ketika aku pertama kali coba naik motor. Untung kami tidak apa-apa, hanya saja keluar 500 ribu ganti bemper mobil orang.
" Yaudah sih nduk, mumpung si Bintang mau ajarin kamu. Bukannya kamu sendiri gak suka boncengan sama cowok lain? Nah kalo bisa bawa sendirikan gak perlu dibonceng-bonceng lagi?" Dukung Bu Siti. Betul juga, aku gak bakal pusing-pusing menghindar dari si Bintang lagi. Gak perlu pesen gojek lagi kalau dapat shift sore dan pulang kemalaman. "Yee, sekali dua kali yah gak papa kali Bintang boncengin. Biar kamu gak capek habis pulang kerja." Sahut pria menjengkelkan itu. Tetangga yang lain mulai suit-suit, waduh bahaya inimah. Aku harus bisa bawa motor sendiri!
.
.
Critt!! gesekan antara aspal dan ban motor yang kukendarai membuat tubuhku terjungkal kedepan. Tanganku mulai gemetar sementara tangan asing yg lain menimpanya seraya menggenggam rem dengan erat. Aku sedikit merasa tekanan dari gengaman itu. Hatiku mencelos gemetar sekaligus lega. "Gak papa, kamu jangan panikan. Kalau panikan justru malah lupa ngerem dan nambah ngegas." Suara menenangkan itu terdengar persis di belakangku. Wangi cologne yang awalnya kuat kita mulai memudar seraya pemilik tubuh itu kembali mundur mengambil jarak di tempat duduknya yang semula. "I-iyaa." hanya itu yang mampu kukatakan selama sesi satu jam kami menghabiskan waktu di taman ini. Melatihku berkendara.
"Gak papa, gak mesti langsung bisa. Mateng-matengin mental aja biar gak panikan kayak tadi." lanjutnya. "Iyaa." lagi-lagi aku tak mampu berkutik. "Nanti juga lancar kok, kamu terus latihan buat berhenti pelan-pelan. Jangan lupa tangan siap di rem." ucap pria itu. "Iyaa." lagi-lagi aku hanya mampu menjawab itu sembari memposisikan tanganku di rem. Perasaan takut dan nervous mulai menghantuiku kembali.
"Kamu kalau lagi nurut gini, bikin gemesh yah." "Mas ganteng banget kan?" tanyanya santai. Yang kubalas dengan raut garang. "Kenapa? kok gak bilang iya sih?" Senyumnya jail. Tanpa menjawab kupukul pundaknya, suasana kembali menjadi santai. Candaannya cukup mampu membuatku lupa dengan kepanikanku, dan ketakutanku untuk mempacu gas. Beberapa minggu kemudian, aku mulai lancar mengendarai motor. Dari yang sebelumnya aku selalu mengelak untuk mencoba mengendarainya.
.
.
"Yahh Zulfa udah bisa bawa motor sendiri, jadi susah pdktnya dong mas." suara pria itu dibuat semelas mungkin, sementara tangannya sibuk memindahkan tas ransel besar yang tidak biasa. Aku yang mau menyalakan motor hendak berangkat kerja tidak menanggapi pernyataannya, justru mentap ransel itu dan bertanya, "Mau kemana Mas Bintang?". Pria itu mengangkat ranselnya dan memposisikan di motor beatnya dan menjawab singkat, "Pulkam".
"Balik lagi kapan?" tanyaku kembali. Dia menatap cukup lama dan tersenyum manis. "Eh ciee, tumben cewek jutek ini kepo." Karena jengah, aku pun menyalakan motorku dan membalas, "Tau ah, males." ketika hendak melaju, Ia menahan stang motorku, menatap ku serius dan berkata "Mas gak balik lagi." Aku kebingungan dengan pernyataan itu, sesuatu berkecamuk dalam hatiku, tapi aku tak mampu mengeluarkannya, bahkan aku tak memahaminya. Aku menatapnya meminta kejelasan, menunggu untuk memberikan kalimat lain secara detail. Aku melihatnya hendak menggumamkan sesuatu, namun pada akhirnya dia hanya melepas pegangannya dan berkata, "Sudah sana, nanti terlambat. Hati-hati di jalan."
.
.
.
.
.
Aku merapikan bajuku, dan berkaca kembali setelah memoleskan lipstik mate di bibirku. Aku keluar rumah dan mendapati motor hitam telah terparkir disana. "Kamu mau coba bawa?" Tanya pria itu rapi dengan atasan senanda dengan yang ku pakai. Aku memandang motor itu nanar dan menoleh ke arah pria itu. "Gak usah, kamu aja."