Mungkin Memang Aku Belum Dewasa

             Ketika aku menemukan postingan di Instagram yang berisikan analisis tentang bagaimana nabi Adam tidak boleh disalahkan karena menyebabkan manusia diusir dari surga dan tinggal di bumi, aku tersesat. Aku menyadari bahwa selama ini aku tersesat dalam memilah yang benar dan salah, aku setuju tapi tetap tawar menawar. Ku kira dewasa akan membuka wawasanku, pengalaman akan menuntun jalanku, dan aku akan lebih mudah dalam menilai baik dan buruk, tapi yang kudapati semua abu-abu. Dewasa justru ketika kau tidak memandang sesuatu full hitam atau full putih, melainkan hanya keduanya tanpa warna yang lain. Si hitam diatas putih, turut merepresentasikan kota yang kaku dan abu-abu, seperti debu-debu di jalanan aspal. Pun warna-warni cat tembok itu tidak pernah memperindah kota ini, mereka hanya menipuku setiap hari, setiap kali aku memandang aku merasa kesal. Jingga itu tidak akan pernah seindah matahari terbenam, biru itu terlalu norak untuk menyaingi birunya langit. 

Dewasa ketika kau selalu salah dibalik kebenaran, dan benar bukanlah sebuah opsi. Aku tidak pernah ingin dewasa, dan lihatlah aku! 27 dan terus menghitung.



        Aku sudah melihat seseorang yang dewasa dan dia tidak mampu mengontrol ego dan emosinya sehingga dia terlihat selalu marah. Aku tidak mengenalnya dengan baik, orang-orang tidak mengenalnya dengan baik, dan aku bertanya-tanya apakah dia mengenal dirinya sendiri dengan baik? 

    Aku juga sudah pernah melihat seseorang yang dewasa dan dia selalu sendiri, beramai-ramai tapi dia selalu sendiri, ditemani tapi dia selalu sendiri. Aku seperti hantu yang hanya eksis di ruang dan waktu yang sama. Aku menemaninya, terkadang duduk bersamanya, tersenyum padanya, tapi jika kau memandangnya cukup lama kau akan menyadari bahwa dia selalu terlihat  benar-benar hanya sendiri. Atau itu hanya asumsiku semata? karena akupun tidak mengenalnya dengan baik?

    Aku juga melihat banyak sekali orang-orang dewasa yang menjalani beban yang berat, keberuntungan yang sempit, jiwa-jiwa yang tercekik, harapan-harapan kusut, insting animalistik yang terus ditekan karena mereka manusia. Aku tidak pernah iri, satu helai pun tidak, aku iba dengan keadaan mereka. Tapi, rasa iba hanya akan membuat seseorang sedih. Aku tidak ingin menambah kesedihan mereka, aku tidak mengenal mereka dengan baik. 

Dewasa itu bukan tentang umur, aku bisa saja menghitung sampai seratus dan aku akan tetap seperti ini; tidak dewasa. Aku tidak pernah ingin dewasa, pun kalau aku memang dewasa aku tidak ingin dewasa seperti orang-orang yang tidak ku kenal dengan baik.



Komentar

Kok banyak yang baca tulisan ini? Hmm... 🤔